WACANA mengenai gerakan menulis terus digulirkan mahasiswa dan untuk mahasiswa. Wacana itu dilontarkan secara lisan, tulisan, atau disampaikan melalui media massa.
Menulis jadi penting bagi mahasiswa, karena melatih dan mengonstruksi pemikiran agar lebih kritis dan kreatif.
Itu membuat tulis-menulis penting disematkan pada mahasiswa yang notabene calon pemimpin bangsa. Menulis juga tolok ukur bagi kemampuan dan pengetahuan mereka dalam meneruskan atau mengubah masa depan.
Gerakan menulis terus digulirkan mahasiwa yang sadar diri akan keadaan mahasiswa di sekitar yang enggan menulis. Keengganan itu diperkuat berbagai dalih. Dalih mereka ungkapkan secara kuat, namun tak wajar. Dan, dalih “keengganan” menulis dikaitkan dengan keadaan psikologis, ekonomis, sosial, dan budaya.
Itu terbukti saat saya menjumpai, mendengarkan, dan melihat para mahasiswa peserta pelatihan penulisan esai di Auditorium Muhamad Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), 21 Juni 2010. Pelatihan itu menghadirkan dua pembicara, yakni Bandung Mawardi dan Ridho al-Qodri.
Pelatihan penulisan yang dihadiri ratusan mahasiswa itu seperti penelanjangan diri terhadap “borok” mahasiswa yang belum mau dan mampu menulis. Itu dapat diketahui ketika Bandung Mawardi menyampaikan pelatihan dengan metode active learning. Dia mengajak mahasiswa menulis sebuah kata atau kalimat di sesobek kertas kosong, lalu dikumpulkan, dan diserahkan. Kemudian, pembicara memilih salah satu tulisan mahasiswa dan menstimulus mahasiswa itu untuk memaparkan tulisan dengan berbagai gaya bahasa.
Lelah dan Menyerah Pemaparan mahasiswa ternyata tak disertai argumen kuat. Akhirnya, mahasiswa itu “lelah” dan menyerah. Lalu, pembicara melanjutkan pelatihan dengan metode itu. Namun metode yang disampaikan Bandung ternyata membuat sebagian mahasiswa ciut nyali. Suasana terasa kaku dan dingin.
Bukan karena pengaruh AC di ruangan, melainkan karena mahasiwa memanjakan diri dengan “ketenangan”. Ketenangan diri untuk tak mengucap, baik lisan maupun tulisan.
Itu merupakan representasi mahasiswa yang masih latah dengan kegiatan menulis. Padahal, menulis sama dengan kegiatan untuk mengucapkan diri ke publik.
Kemauan dan kemampuan menulis mahasiswa yang masih rendah bukan hanya karena ketenangan untuk tak mengucap diri secara lisan dan tulisan. Namun, mahasiswa belum “mau” mengajukan dan mengeksplorasi pertanyaan yang berkait dengan ruang dan waktu. Kalaupun mau dan mampu mengajukan pertanyaan, mahasiswa enggan mencari informasi yang berhubungan dengan pertanyaan itu.
Memprihatinkan Padahal, itu kebutuhan vital bagi mahasiswa yang hendak menulis. Ridho al-Qodri menyatakan tugas penulis sebagai peneliti. Penulis harus memunculkan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban. Setidaknya, apa aspek paling penting dari pertanyaan saya? Bagaimana relasi antaraspek itu?
Namun stimulus dari kedua pembicara tak membuat mahasiswa bergairah. Itu betul-betul representasi mahasiswa yang menganggap kegiatan menulis bukan kebutuhan pokok. Para mahasiswa hanya bergairah karena ada fasilitas dari panitia berupa sertifikat, makanan, makalah, blocknote. Mahasiswa belum menangkap keinginan dan harapan panitia dan pembicara.
Keadaan mahasiswa yang kurang merespons pelatihan itu terasa memprihatinkan. Mungkin betul pemaparan Bandung Mawardi bahwa
“Kabar surga aksara dan neraka aksara mungkin tak melewati jalan mereka. Makna tak mau mampir karena tak ada ruang tamu untuk perjamuan.”
Walau pemaparan itu sebuah interpretasi terhadap realitas yang direpresentasikan para mahasiswa yang jadi peserta pelatihan, saya dan pembicara masih punya optimisme untuk menyemaikan benih kehidupan yang cerah bagi mahasiswa.
Menulis jadi penting bagi mahasiswa, karena melatih dan mengonstruksi pemikiran agar lebih kritis dan kreatif.
Itu membuat tulis-menulis penting disematkan pada mahasiswa yang notabene calon pemimpin bangsa. Menulis juga tolok ukur bagi kemampuan dan pengetahuan mereka dalam meneruskan atau mengubah masa depan.
Gerakan menulis terus digulirkan mahasiwa yang sadar diri akan keadaan mahasiswa di sekitar yang enggan menulis. Keengganan itu diperkuat berbagai dalih. Dalih mereka ungkapkan secara kuat, namun tak wajar. Dan, dalih “keengganan” menulis dikaitkan dengan keadaan psikologis, ekonomis, sosial, dan budaya.
Itu terbukti saat saya menjumpai, mendengarkan, dan melihat para mahasiswa peserta pelatihan penulisan esai di Auditorium Muhamad Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), 21 Juni 2010. Pelatihan itu menghadirkan dua pembicara, yakni Bandung Mawardi dan Ridho al-Qodri.
Pelatihan penulisan yang dihadiri ratusan mahasiswa itu seperti penelanjangan diri terhadap “borok” mahasiswa yang belum mau dan mampu menulis. Itu dapat diketahui ketika Bandung Mawardi menyampaikan pelatihan dengan metode active learning. Dia mengajak mahasiswa menulis sebuah kata atau kalimat di sesobek kertas kosong, lalu dikumpulkan, dan diserahkan. Kemudian, pembicara memilih salah satu tulisan mahasiswa dan menstimulus mahasiswa itu untuk memaparkan tulisan dengan berbagai gaya bahasa.
Lelah dan Menyerah Pemaparan mahasiswa ternyata tak disertai argumen kuat. Akhirnya, mahasiswa itu “lelah” dan menyerah. Lalu, pembicara melanjutkan pelatihan dengan metode itu. Namun metode yang disampaikan Bandung ternyata membuat sebagian mahasiswa ciut nyali. Suasana terasa kaku dan dingin.
Bukan karena pengaruh AC di ruangan, melainkan karena mahasiwa memanjakan diri dengan “ketenangan”. Ketenangan diri untuk tak mengucap, baik lisan maupun tulisan.
Itu merupakan representasi mahasiswa yang masih latah dengan kegiatan menulis. Padahal, menulis sama dengan kegiatan untuk mengucapkan diri ke publik.
Kemauan dan kemampuan menulis mahasiswa yang masih rendah bukan hanya karena ketenangan untuk tak mengucap diri secara lisan dan tulisan. Namun, mahasiswa belum “mau” mengajukan dan mengeksplorasi pertanyaan yang berkait dengan ruang dan waktu. Kalaupun mau dan mampu mengajukan pertanyaan, mahasiswa enggan mencari informasi yang berhubungan dengan pertanyaan itu.
Memprihatinkan Padahal, itu kebutuhan vital bagi mahasiswa yang hendak menulis. Ridho al-Qodri menyatakan tugas penulis sebagai peneliti. Penulis harus memunculkan pertanyaan sekaligus memberikan jawaban. Setidaknya, apa aspek paling penting dari pertanyaan saya? Bagaimana relasi antaraspek itu?
Namun stimulus dari kedua pembicara tak membuat mahasiswa bergairah. Itu betul-betul representasi mahasiswa yang menganggap kegiatan menulis bukan kebutuhan pokok. Para mahasiswa hanya bergairah karena ada fasilitas dari panitia berupa sertifikat, makanan, makalah, blocknote. Mahasiswa belum menangkap keinginan dan harapan panitia dan pembicara.
Keadaan mahasiswa yang kurang merespons pelatihan itu terasa memprihatinkan. Mungkin betul pemaparan Bandung Mawardi bahwa
“Kabar surga aksara dan neraka aksara mungkin tak melewati jalan mereka. Makna tak mau mampir karena tak ada ruang tamu untuk perjamuan.”
Walau pemaparan itu sebuah interpretasi terhadap realitas yang direpresentasikan para mahasiswa yang jadi peserta pelatihan, saya dan pembicara masih punya optimisme untuk menyemaikan benih kehidupan yang cerah bagi mahasiswa.
No comments:
Post a Comment